Sejarah Kota Bengkalis Negeri Junjungan
Dimulai pada tahun 1645, Bengkalis hanya merupakan Kampung nelayan,
Berdasarkan sumber sejarah, pada tahun 1678 daerah ini menjadi tempat
pertemuan pedagang-pedagang Melayu, Jawa, Arab yang membawa barang
dagangannya bersama dengan pedagang-pedagang dari Palembang, Jambi,
Indragiri, Aceh, Kedah, Perak, Kelong, Johor, Penang, Petani, Siam,
Kamboja, Kocin, Cina dan orang-orang Minangkabau yang mendiami Sumatera
dan datang ke sana untuk mengambil garam, beras, dan juga ikan (terubuk)
yang banyak ditangkap oleh orang-orang Selat.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1717 Bengkalis dijadikan sebagai baris
penyerangan terhadap Johor oleh Raja Kecil. Di Bengkalis inilah, Raja
Kecil menyusun kekuatan angkatan perang. Selanjutnya, Raja Kecil
mendirikan Kerajaan Buantan yang kemudian disebut Kerajaan Siak pada
tahun 1723. Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah
(1723-1748). Daerah kekuasaannya meliputi Perbatinan Gasib, Perbatinan
Senapelan, Perbatinan Sejaleh, Perbatinan Perawang, Perbatinan Sakai,
Perbatinan Petalang, Perbatinan Tebing Tinggi, Perbatinan Senggoro,
Perbatinan Merbau, Perbatinan Rangsang, Kepenghuluan Siak Kecil,
Kepenghuluan Siak Besar, Kepenghuluan Rempah dan Kepenghuluan Betung.
Saat didirikannya Kerajaan Siak tersebut Bengkalis dan Bukit Batu
dijadikan pos terdepan dalam rangka pertahanannya dengan pimpinan Datuk
Laksamana Raja Di Laut. Datuk Laksamana Raja Dilaut membangun armada
yang kuat serta membuat kapal-kapal perang yang dilengkapi dengan
senjata yang didatangkan dari negara-negara Islam.
Selanjutnya, saat Bengkalis berada pada kekuasaan Belanda, Bengkalis
dijadikan ibukota Keresidenan Sumatera Timur. Namun demikian, Belanda
kemudian memindahkan ibukota keresidenan dari Bengkalis ke Medan.
Sesudah perpindahan tersebut Bengkalis dijadikan ibukota Afdeling
Bengkalis sampai akhir kekuasaan Belanda di Indonesia. Sedangkan saat
pendudukan Jepang, Bengkalis dijadikan ibukota Bengkalis Bun.
Sementara itu, perjuangan masyarakat Bengkalis untuk mempertahankan
kemerdekaan mencapai puncaknya ketika Belanda berhasil menduduki
Bengkalis kembali pada tanggal 30 Desember 1948. Pada saat itu, Belanda
mendapat perlawanan yang cukup sengit dari masyarakat Bengkalis.
Asal usul Bengkalis
Menurut Jasman K (tt) dari berbagai versi oral yang dikumpulkannya dan
menurutnya dari sebuah buku Kisah Pelayaran Raja Kecil Ke Johor dan
sebuah naskah yang berjudul ”Asal –muasal Nama Terubuk” dan sebuah
naskah Syair Ikan Terubuk huruf Jawi, maka dibuatnyalah sebuah kisah
sejarah seperti berikut ini :
Bengkalis bermula setelah pudarnya Kerajaan Gasib pada abad ke-17 atau
sekitar 1625. Kerajaan Gasib ini terletak di hulu Sungai Gasib di
sebelah Selatan Buatan. Muara Sungai Gasib menuju ke Sungai Jantan Siak.
Sesudah keruntuhan Kerajaan Gasib, daerah ini seperti ditimpa bala
bencana. Daerah ini tidak lagi punya pemimpin, dan berlakulah ”hukum
rimba”, siapa yang kuat maka dialah yang menjadi raja. Kekosongan pucuk
kekuasaan kerajaan ini kemudian diisi oleh datuk-datuk yang menjadi
tempat berpegang. Tersebutlah Datuk Bandar di Bengkalis dan Datuk Bandar
di Sabak Aur. Para datuk ini diceritakan konon datang dari Johor.
Bengkalis ketika itu belumlah bernama Bengkalis, seperti halnya kejadian
sebuah negeri Melayu dalam tradisi Melayu. Disebut orang Kuala
Batanghari namanya. Di hulu Kuala Batanghari ini terdapat tanah busut di
sebuah tasik kecil. Karena itu pulaulah orang di daerah ini mengenal
tanah tumpukan ini dengan sebutan ”Pulau Sembilan”. Menurut Jasman K
(tt) seorang guru SR dan ditulisnya pada 27 September 1980 lagi – tanpa
menyebutkan sumber – nama Kuala Batanghari dan Pulau Sembilan kemudian
kelak berganti nama menjadi Bengkalis.
Peristiwa pergantian nama ini bermula setelah menghilirnya perangkat
Raja Kecil yang diiringi dengan empatpuluh orang awak lancang dan emp[at
orang kepala suku, yaitu suku Limapuluh, suku Tanah Datar, suku
Pesisir, dan ditambah satu suku lagi dari suku Limapuluh juga. Konon
dalam Sejarah Melayu Raja Kecil memang dibesarkan di Ranah Minang.
Perangkatan Raja Kecil menghiliri sungai Jantan yang kemudian nama
sungai ini bernama Sungai Siak. Rombongan Raja Kecil ini singgah di
Sabak Aur (Sungai Apit sekarang ini) kemudian singgah pula di Kuala
Batanghari. Di Sabak Aur ini konon pernah terjadi perselisihan antara
rombongan Raja Kecil dengan Datuk Bandar Sabak Aur. Perselisihan berawal
dari Datuk Sabak Aur meminta cukai lalu lintas sungai kepada rombongan –
yang tidak diketahuinya itu yang ternyata – Raja Kecil yang telah
merapatkan lancangnya di jembatan di Sabak Aur.
Raja Kecil mau tidak mau memotong puntel pundi-pundinya yang terbuat
dari emas. Lalu puntel pundi-pundi itu diterima oleh pengawal Datuk
Sabak Aur.
Sambil menyerahkan puntel pundi-pundinya konon Raja Kecil berkata “akan
kucucup juga darahnya di kemudian hari nanti”. Ternyata konon apa yang
diucapkannya itu berlaku dan menurut Jasman K mempunyai kisah
tersendiri. Kisah ini masih gelap untuk diteroka. Lancang pembawa
perangkatan @rombongan Raja Kecil terus menghilir ke muara sungai. Awak
lancang menyebut sejumlah nama hutan, nama tanjung, nama pulau, dan nama
sungai-sungai yang dilalui. Tersebutlah Selat Pulau Padang. Selain itu,
juga disebut Sungai Selari, Tanjung Ja, dan banyak lagi nama lain.
Jasman K (tt) selanjutnya mengisahkan, menurut adat kebiasaan setempat,
bahwa setiap orang yang datang ke suatu tempat baru yang dituju di
wilayah ini harus tunduk pada adat tuan rumah. Peraturan adat itu antara
lain belum boleh menyauk air sungai atau naik ke darat, sebelum
terlebih dahulu mengadakan surah-bersurah dan memperoleh izin dari
penguasa di tempat ini. Rupanya tanpa disangka adat masyarakat ini juga
diberlakukan terhadap rombongan Raja Kecil ini, yaitu belum boleh
menyauk air sungai apalagi naik ke darat, sebelum surah-bersurah dan
keizinan dari tuan rumah.
Ketibaan macang perangkatan Raja Kecil menjadikan pembicaraan orang
ramai di Bandar Kuala Batanghari. Karena orang di dalam lancang itu
berbahasa sekerat-kerat yang tak dapat dipahami oleh pengawal pantai.
Apa yang didengar oleh pengawal pantai (bahasa orang di dalam lancang
itu) dihafal baik-baik, supaya mudah menyampaikannya kepada Tuk Bandar.
Setelah dapat disimak ucapan bahasa atau kata-kata orang yang di dalam
lancang itu lalu disampaikan oleh pengawal kepada Datuk Bandar Jamal,
orang yang memegang tampuk kekuasaan di Kuala Batanghari. Terjadilah
surah-surahan antara Datuk Bandar Jamal dengan Raja Kecil dan
orang-orang besar di dalam lancang. Raja Kecil memperkenalkan dirinya
lalu menyebutkan namanya. Mendengar nama Raja Kecil itu tak syak lagi
bagi Datuk Bandar Jamal, bahwa itulah keturunan Sultan Johor. Datuk
Bandar pun mempersilahkan Raja Kecil dan orang-orang besar dalam lancang
untuk sudi naik ke darat dan tinggal beberapa lamanya di Kuala
Batanghari.
Konon setelah beberapa lama lancang perangkatan Raja Kecil berada di
Kuala Batanghari banyak sekali hal-hal yang timbul dan ditanyakan kepada
Raja Kecil. Seperti ketika mandi di kuala sungai banyak ikan-ikan
berebut makanan. Lalu ditanyakan nama ikan itu. Dijawab oleh Raja Kecil
dengan singkat, bahwa ikan itu bernama ikan ”teru” menangkapnya harus
dengan tali ”pu”, sisiknya tidak boleh dikikis. Jika ingin dikikis juga
hendaklah jangan dipaksakan. Kemudian, ditanyakan lagi nama tanjung di
seberang, di sebelah Barat Laut Kuala Batanghari. Dijawab oleh Raja,
bahwa tanjung itu bernama Tanjung ”ja”. Raja Kecil menyarankan, supaya
tepat sebaiknya ditanyakan lagi kepada Bunda Dalam di Johor, orang yang
dikenal pandai menafsirkan makna-makna yang tersirat.
Kelak, setelah Raja Kecil menjadi Sultan Johor, maka semua yang tumbuh
dan setiap peristiwa yang terjadi di sepanjang pelayaran yang pernah
dialami di Kualabatanghari, ditanyakan kepada Bunda Dalam. Satu per satu
dieja dan diartikan oleh Bunda Dalam, misalnya tentang ”ikan teru”
berarti ”ikan terubuk”. Ikan terubuk asal-usul induknya dari ikan
Bengkalis hidup di sungai, begitu juga bentuknya tidak besar. Konon
hanya di daerah ini saja yang ada ikan ini di tempat lain (mungkin ada
tapi) lain pula namanya. Menangkap ikan terubuk ini hendaklah dengan
tali purun dan itulah disebut tali ”Pu” (dan nama ”Pu” juga nama pukat).
Menangkap terubuk itu hendaklah dengan pukat yang menggunakan tali
purun. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, ikan tersebut tidak
boleh diperdagangkan.
Adapun nama kayu ”beng” berasal dari nama kayu Bengkalis. Kayu itu konon
cuma ada hidup di tempat itu. Batangnya hampir mirip dengan batang
manggis, tetapi tidak berbuah. Dan begitu juga tentang nama Tanjung ”ja”
itu artinya Tanjung Jati letaknya di ujung pulau di sebelah matahari
turun. Setelah mendapat arti makna dan tunjuk-ajar dari Bunda Dalam,
lalu Sultan Johor yang ketika itu dipegang oleh Raja Kecil, mengirim
utusan ke Kuala Batanghari menyampaikan kepada Datuk Bandar Jamal bahwa
sejak perutusan itu sampai memberi khabar hendaklah berubah nama Kuala
Batanghari menjadi Bengkalis, di dalam sungai itu ada hidup Ikan
Bengkalis dan ditepi sungai itu ada juga hidup batang Bengkalis yang
berasal dari sungai itu juga. Begitu juga nama pulau itu sekaligus
diberi pula nama selatnya dengan sebutan yang sama yaitu Pulau Bengkalis
dan Selat Bengkalis. Demikian penjelasan Djasman K, (tt).
Bengkalis Mulai Disebut Dalam Sejarah
Hanya beberapa tahun setelah tahun 1511, terbit sebuah buku tentang
Melaka, yaitu The Suma Oriental. Penulisnya, Tome Pires, yang berbangsa
Portugis, memberikan suatu gambaran yang jelas, khusus tentang
masyarakat masyarakat Melaka dari tahun 1400 sehingga tahun 1515,
walaupun tulisannya berorientasi dari sudut pandangannya. Kisah sejarah
tersebut dibuat ketika beliau berada di kota kosmopolitan Melaka dari
tahun 1512 hingga tahun 1515, yaitu tahun-tahun awal penaklukan dan
pendudukan (bangsa Portugis Eropah yang pertama ini di Melaka). Mungkin
disebabkan Tome Pires menyaksikan sendiri suasana pada periode awal
zaman peralihan, yaitu dari pendudukan Melayu ke pendudukan Portugis,
maka beliau bersikap condong ke arah Portugis, dengan mengedepankan
nilai-nilai asli keportugisannya, dari segi etos, agama, kepercayaan dan
pandangannya tentang dunia.
Sumber Cina pada abad ke-5 dan abad ke-6 Masehi (daripada Dinasti Sung
dan Dinasti Liang) menyebutkan bahwa sebuah tempat yang bernama
Kan-t’o-li yang terletak di tenggara Sumatera (tempatnya dikatakan
terdapat di sekitar Jambi, bermuarakan Sungai Batang Hari. Lihat N.J.
Krom, Hindoe –Javvansche Geschiedenis, hlm. 112; G. Coedes, “A Possible
Intrepretation of the Inscription of Kedukan Bukit (Palembang)”
Untuk keperluan jalur perdagangan di Selat Malaka serta kemunculan pola
perdagangan yang baru ini, Kan-t’o-li dipastikan berhasil untuk
menguasai sebagian besar dari muara-muara sungai di sepanjang pantai
timur Sumatera, hingga ke Pantai Timur dan Pantai Barat Semenanjung
Tanah Melayu. Kan-t’o-li merupakan sebuah pusat kekuasaan laut Melayu
yang muncul secara langsung dari peluang sosioekonomi dan jalan
perdagangan laut yang muncul ketika itu. Kelahiran Kan-t’o-li menandakan
wibawa politik dan keunggulan ekonomi Funan dan Langkasuka. Kan-t’o-li
menggantikan kedua kekuasaan ini. Kan-t’o-lilah yang dianggap memberi
jalan ke arah kemunculan Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya kemudian menjadi sebuah empayar Melayu. Pada zaman puncak
kekuasaannya pada abad ke-11, Sriwijaya disebut menguasai jalan
perdgangan dan jalan laut yang cukup luas, yaitu dari kawasan Gerahi di
timur Teluk Benggala hingga ke Selat Sunda di selatan, lalu menguasai
seluruh geopolitik tradisional pantai timur Sumatera, seluruh Thai
Selatan, Semenanjung Tanah Melayu dan barat laut Gugusan Kepulauan
Melayu. Sriwijaya yang berpusat di Palembang, kemudian berpindah ke
Jambi juga berhasil menundukkan kekuasaan setempat dan bandar-bandar
pelabuhan yang lebih kecil. Proses dan pola politik serta penguasaan
jalan perdagangan laut oleh Sriwijaya ini berlangsung hingga abad ke-13.
Kawasan-kawasan lain yang tidak menjadi daerah takluk (jajahan) di
pantai barat dan timur Sumatera adakalanya mempunyai hubungan
perdagangan dengan Melaka. Bahan-bahan eksport dari kawasan ini dihantar
ke Melaka melalui pelabuhan yang menjadi daerah takluk (jajahan). Pedir
contohnya, menghantar lada dan beras menerusi Pasai ke Melaka.
Bengkalis membekalkan ikan kering dan ikan terubuk (Muhammad Yusoff
Hashim, 1990: 245).
Pada tahun 1678 digambarkan oleh Tuan Bort tempat tersebut sebagai
berikut : Bengkalis, sebagaimana telah dihuraikan, termasuk dalam
wilayah Kerajaan Johor, terletak di suatu pulau kira-kira satu mil dari
pantai Sumatera, hanya merupakan perkampungan nelayan , dipimpin oleh
seorang syahbandar yang mengurus semua kepentingan Johor.
Meskipun hanya merupakan perkampungan nelayan, disana terdapat pelayaran
yang ramai terdiri dari orang Melayu, Jawa dan Arab yang berkumpul
untuk melakukan pembelian barang-barang dari Pantai Jawa, Palembang,
Jambi, Indragiri, Aceh, Kedah, Perak, Kelang, Johor, Pahang, Patani,
Siam, Kamboja, dan Kocin Cina. Bahkan, orang Minangkabau yang tinggal di
Sumatera datang ke sana beramai-ramai membeli garam, beras dan juga
ikan, yang banyak ditangkap pada musim-musim tertentu disana oleh
orang-orang Selat, yang dengan anak istrinya tinggal di pulau-pulau dan
mengembara kesana kemari-ikan tersebut mempunyai telur yang bersih,
dikeringkan dan digarami serta sangat digemari oleh penduduk.
Bengkalis merupakan daerah yang pernah memegang peranan penting dalam
sejarah. Banyak terjadi berbagai peristiwa sejarah di sana. Bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa di Bengkalis banyak sekali terjadi peristiwa
sejarah terlihat dari berbagai bangunan fisik yang ada, walaupun banyak
yang sudah tidak utuh lagi. Dari peninggalan sejarah yang ada banyak
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini bisa kita peroleh
setelah kita mengetahui bagaimana proses terjadinya peninggalan sejarah
tersebut.
Komentar
Posting Komentar